Sabtu, 27 November 2010

PARIT BANJAR : ‘BERBEDA DENGAN YANG LAIN’
Oleh : Siti Hanina

“ Amad yo mbo’ di copot clono kresekmu kuwi, njelei !!!”
“Ghenelah, adem???” (“biarlah dingin”).jawabnya tanpa menghiraukan perkataanku.
Bahasa Jawa yang artinya adalah (“Amad, coba dilepas celana plasticnya, ndak bangus dilihat”). Memang saat itu dia mengenakan celana / mantel yang bercelana. Yang sebenarnya sedari tadi di ruang Malay Corner (MC) dia mengenakan celana meskipun hujan telah berhenti .
Itulah suasana saat kami beserta rombongan “riset Wisata” akan berangkat ke lokasi tujuan yaitu Parit Banjar. Setelah aku dan yang lainnya ngumpul di ruangan MC dan absen pun telah selesai oleh Pak Ibrahim yang saat itu menjadi ketua riset. Aku beserta rombongan yang terdiri dari Balai Kajian Bahasa, anggota MC, dan aku sendir berada pada club menulis yang dibimbing oleh Pak Yusriadi.
Hari Sabtu tanggal 30 Oktober 2010. Waktu menunjukkan pukul 16. 10 WIB, rombongan riset kami berangkat dari kampus STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Pontianak yang akan melakukan perjalanan menuju ke perkampungan Bugis. Salah satu kampung yang berada di Desa Kalimas tepatnya di Dusun Melati. Kegiatan ini merupakan salah satu dari agenda tulis-menulisnya MC yang langsung dimotori oleh STAIN Pontianak. Dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya adalah Pak Yusriadi, Pak Ibrahim, Pak Didi dan masih banyak juga yang lainnya.
Dengan mengendari sepeda motor, saat itu berjumlah semuanya 32 orang akan tetapi satu diantaranya akan menyusul karena ada sesutau dan lain hal. Yaitu Pak Yusriadi akan menyusul kami malam nanti. Sebelum yang lain pergi aku dan temanku Rendi pergi terlebih dahulu. Karena kami ingin memberi minum si kuda besi kesayangan Rendi. Kebetulan saat itu aku tidak membawa motor jadi aku berboncengan dengan Rendi salah satu sahabat seperjuanganku baik dalam kuliah maupun dalam club menulis. Namun sebelum pergi Pak Ibrahim berpesan bahwa yang akan menjadi penunjuk jalan adalah Mahmud Alfikri. Karena dialah yang akan merekomendasi rombongan kami ke sana. Yaitu tujuan riset kami yang berada di Desa Kalimas tepatnya Dusun Melati, Kabupaten Kubu Raya.
Kami pun berangkat, dengan harapan kami tidak ketinggalan dengan rombongan yang lain. Jadi aku ingin jika nantinya selesai mengisi bensin rombongan yang lain telah menyusulku berjalan. Tetapi ternyata tidak, saat aku tiba di Pom bensin aku dan Rendi harus mengantri terlebih dahulu. Setelah sampai ke sana kami menunggu giliran yang saat itu kami mendapat urutan keempat. Aku turun dari motor dan kulihat Ahmad dan Kak Marisa juga menyusul kami mengisi bensin. dan tak lama berselang Kak Romi nyusul dengan kak Yanti, mereka juga ingin mengisi kendaraannya masing-masing.
Saat itu aku masih berada dekat dengan Rendi, dan aku berkata,
“Lega rasanya, ternyata kite ade kawan yang ngisi bensin Ren!” kataku sembri bernapas lega. Dan tanpa berkata-kata Rendi hanya tersenyum karena dia telah melihat bahwa ada teman yang juga mengsi bensin.
Saat itu kami mengisi bensin di Jalan Ahmad Yani 1 dekat Mujahidin. Jadi satu arah dengan perjalan riset. Aku pun menghampiri Kak Yanti yang saat itu berada di sebelah kanan dan kak Marisa dengan Ahmad yang berada di sebelah kiri saat itu. Aku pun bertanya dengan kak Yanti.
“Kak. Kakak tau ke Paret Banjar?”
“Tadak pula tu, hany tak tau ke?” jawab Kak Yanti uang saat itu aku yang bertanya malah dia juga bertanya denganku.
“Jadi…”. Kataku lagi dan tak lam kemudian Kak Yanti berkata.
“ Kite cepat jak susul yang laen. Udah lewat dah tuh.” Mendengar apa yang dibicarakan kak yanti pun aku langsung menganggukkan kepalaku saja.
Dan tak lama kemudian aku melihat rendi sedang menutup jok motornya yang itu artinya pengisian bensin telah usai. Aku pun langsung menghampiri Rendi. Yang lain juga telah selesai hanya tinggal Kak Marisa dengan Ahmad yang masih mengisi bensinnya. Dan aku juga baru tahu kalau rombongan yang lain telah lewat.
Kami pun melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Ahmad memacu motornya agak laju sehingga aku dan Rendi tertinggalan apalagi dengan kak Romi dan kak Yanti. Mereka berdua sangat jauh di belakang karena saat itu jalanan padat dengan kendaraan. Ya, saat itu memang sedang ramainya jalan karena berkenaan dengan jam pulangnya orang kerja dan anak-anak yang sekolahnya masuk siang. Al-hasil jalanan pun sedikit macet.
Karena kak Romi tertinggal jauh dengan kak Yanti, akhirnya aku bilang dengan Rendi untuk menunggu Kak Romi dulu karena mereka tidak tahu jalan yang akan dilewati nantinya. Dan ternyata benar saat kami bertemu dan dekat dengan Kak Romi sedang menelpon salah satu kawannya. Dia menayakan jika telah lewat bundaran lewat kemana lagi?. Itulah sekilas percakapan yang aku dengar saat melintasi Kak Romi yang sengaja aku buntuti dari belakang. Aku tak tahu dia sedang menelpon dengan siapa dan aku pun tidak bertanya karena aku tahu itu akan menganggu perjalan kami.
Setelah melewati bundaran Kota Baru kami berjalan lurus ke arah jalan Sultan Syahrir. Dan tak lama kemudian aku melihat rombongan riset wisata yang lain berkumpul di depan jalan Ampera. Mereka menunggu di sebelah kiri jalan. Setelah melihat rombongan kami tiba Mahmud pun segera berjalan untuk melanjutkan perjalan kembali.
Saat memasuki jalan Ampera sangat berbeda dengan suasana jalan sebelumnya. Di jalan ini terlihat tak begitu banyak aktifitas kendaraan yang terlihat jalan tidak sepadat dengan jalan Sultan Syahrir. Namun tak lama kemudian jalanan kembali ramai dan sedikit nyendat. Ternyata ada pasar di pinggir jalan yang membuat jalan macet.
Cuaca pada sore hari itu sangat mendung meskipun tidak ada tanda-tanda lagi akan turun hujan. Karena sebelum kami berangkat riset hujan menguyur kota Pontianak dan sekitarnya. Tak terkecuali di rumahku yang saat aku ingin berangkat ke STAIN kesulitan karena hujan. Tapi itu semua dapat diatasi. Dan aku bersyukur bisa berangkat bersama dengan rombongan riset lainnya. Saat itu matahari tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya jadi sangat terasa udara yang begitu dingin. Oleh sebab itulah aku menggunakan jaketku yang berwarna abu-abu. Rombongan yang lain juga mengenakannya karena memang udara sangat dingin. Tetapi ada yang lucu jika yang lain mengenakan jaket si Ahmad malah mengenakan celana plastic. Aneh tapi itulah kenyataan.
Suasana yang dingin dan air yang banyak di parit-parit sebelah kiri jalan membuat banyak sekali anak-anak berenang dan bahkan juga dengan orang tuanya. Serasa tak perduli dengan dinginnya air dan angin yang berhembus. Sepertinya mereka sangat menikmati air yang hampir meluap ke jalan itu.
Perjalan kami tak terasa sampai di ujung jalan Ampera. Kami membelok ke kiri yaitu jalan PAL yang aku sendiri kurang mengerti itu Pal berapa. Namun yang aku tahu jalan Pal lebih dari satu. Aku hanya mengikuti jalan yang telah Mahmud lalui. Selama perjalan ini menyejukkan dan sekaligus memanjakan mataku karena pemandangan yang hijau dan asri. Di daerah ini terasa sejuknya berbeda dengan daerah yang berada di kawasan padat penduduk. Daerah ini begitu nyaman dan rasanya tenang jika aku tinggal di sini. Sebab jarang sekali rumah. Dan sepanjang perjalanan banyak sekali ku temui pepohonan seperti pohon rambutan, pohon langsant dan pohon buah-buahan lainnya. Serta pohon-pohon yang seganja tumbuh dengan liar di lahan yang kosong.
Selama perjalan aku dan Rendi banyak bercerita tentang kunjungan kami ke daerah Pal ini dan banyak yang lainnya. Bahwa aku pernah ke ini sebelum ini cuma kayaknya dah banyak berubah. Rendi pun membalas perkataan juga bahwa dia juga pernah ke sini akan tetapi hanya sekali. Aku merasa ada yang bergetar dalam saku bajuku. Dan ternyata itu adalah Hp yang sengaja aku simpan di saku baju. Kuambil Handphon itu dari saku dan ternyata ada SMS (Short Massage Service) yang ternyata itu dari Mahmud.“Perjalanan masih jauh.”Itulah sepenggal kiriman pesan dari Mahmud yang memberikan info bahwa perjalan yang akan kami tempuh masih jauh. Dan saat itu perjalanan pun tidak terlalu ngebut karena banyak yang lain masih di belakang dan aku takut yang lain itu tidak tahu jalannya. Aku pun membalas kiriman pesan dari Mahmud. “ sabaaaaar. Yang lain juga masih tertinggal. Kalau mau, ngebutlah.” Kataku lagi. Dan tak lama berselang ada jawaban SMS dari Mahmud. “itulah, takut tak tahu jalan be, ibu-ibu lagi yang di belakang tu.”.
Tanpa terasa aku sampai di Desa Punggur. Aku tahu hal itu saat aku membaca tulisan besar di atas gerbang. Tulisan berwarna merah agak kusam itu sepertinya terbuat dari ukiran semen yang langsung menempel dengan gerbang. Gerbangnya pun terbuat dari beton yang berukuran besar. Dengan terbuat dari beton gerbang itu terlihat sangat kuat dan kokoh.
Memasuki desa Punggur jalanan banyak di penuhi oleh air yang tergenang di beberapa titik jalan. Sebelah kanan terdapat aliran sungai dan di samping sungai terdapat deretan rumah penduduk. Entah apa nama dari sungai itu aku belum mendapat infonya hingga saat ini. Dan di sebalah kiri terdapat rumah, pasar dan juga ada sekolahan yang lapangnnya digunakan untuk bermain bola oleh anak-anak. Akan tetapi tidak ahnya anak-anak yang bermain, ada juga bapak-bapak yang bermain bola. Mereka sangat gembira main sepak bola tersebut karena cuaca yang snaagt mendukung dan lapangan yang juga dipenuhi oleh banyak air.
Tanpa terasa aku telah sampai di Dusun Melati. Sebuah dusun yang terletak sekitar 3 kilo dari jalan utama. Di depan jalan terdapat tulisan dari cat berwarna terang yaitu merah yang tertulis di atas sebuah seng datar yang berukuran seteng kali setengah meter. Tulisan itu disokong dengan kayu yang berukuran kecil. Di depan jalan aku berserta rombongan sempat berhenti untuk menunggu rombongan yang tertinggal di belakang. Sambil menunggu aku dan yang lain sempatkan untuk berfoto-foto. Namun ada suara yang sangat nyaring saat itu sehingga perhatian tertuju pada asal suara itu.
“Mohon maaf sementara ini trak dilarang lewat ada kegiatan proyek!!!. Paham.!!” Seperti itulah kira-kira lontaran kata-kata yang ternyata itu dari kak Marisa. Dia sedang mengomentari tulisan yang ada di samping kanan jalan dekat plang Dusun Melati. Sebagai pertanda ada peringatan bahwa trak tidak boleh masuk.
“Liatlah tulisan ini kayaknye makse benaaar!. Dikasi’ kate ‘paham’ lagi tu!! Jadi ketauan kalau yang buat makse. !!” katanya lagi sambil memonyongkan bibirnya ke depan. Entah, karena dia kesal atau karena dia tidak suka dengan tulisan itu.
Setelah aku bercanda ringan dengan Ahmad, Rendi, dan Kak Marisa serta yang lainnya, aku harus melanjutkan perjalan beserta rombongan yang lainnya untuk memasuki dusun melati. Jalan berbatu dan tanah kuning yang licin setelah terkena hujan adalah jalan wajib yang harus aku lewati. Di tengah perjalan itu aku berpesan kepada Rendi untuk tidak jalan di tanah kuning pinggiran batu. Karena itu sangat licin sehingga akan membuat jatuh bagi yang kurang ‘lihai’ dalam berkendaraan. Jalan yang awalnya berbatu berubah menjadi jalan aspal yang kasar. Di setiap pinggiran jalan terdapat tanaman yang bisa dimanfaatkan oleh warga seperti pinang, pisang dan yang lainnya. Setelah berjalan sekitar seratus meter dari jalan berbatu itu aku sampai di sebuah rumah yang snagt besar di lihat dari depan. Kendaraan berbelok kea rah kanan yaitu teras rumah itu yang juga telah banyak juga kendaraaan teman satu rombongan.
Dalam hatiku bertanya apa kita telah sampai tujuan. Dan aku penasaran dengan hal itu. Untuk menjawabnya aku beranikan bertanya kepada Mahmud sang penunjuk jalan tadi. Menurutnya kita telah sampai namun ini bukan rumah yang di tuju. Itu adalah rumah orang tua anggkatnya. Dia membawa kami ke sana karena dia tidak tahu rumah masing-masing kelompok. Dan saat itu Pak Ibrahim sebagai ketua Riset tidak bersama kami. Orang tua angkat Mahmud yang bernama Pak Mansur itu sangat ramah. Beliau menyuruh kami masuk dan duduk. Jam menunjukkan pukul 17. 20 WIB. Sepertinya azan magrib akan berkumadang sebentar lagi. Ternyata benar sesaat aku berkata demikian dengan Ahmad azan pun berkumandang.
Saat itu juga aku dan yang lainnya bingung akan salat dimana karena sepertinya suara azan itu tidak terlalu jauh dan ada yang ngajak salat di asjid dan ada juga yang mengajak salat di rumah saja. Hingga akhirnya semua rombongan bersepakat untuk salat dan ngumpul di masjid yang nantinya juga akan ada musyawah dari panitia. Dengan membawa barang-barang perlengkapanku, aku bergegas dan beranjak dari tempat duduk. Saat itu sengaja duduk memisahkan diri dengan tuan rumah karena sang tuan rumah telah ‘dikeroyok’ oleh pertanyaan. Dan kursi pun tidak cukup untuk menampung kami semua. Untuk itulah aku, Rendi, Ahmad, Ninda, Kak Marisa, Kak Erika, dan Kakak yang dari Untan juga ikut bergabung dengan kami. Kakak itu namanya adalah Riani. Karena saat itu aku gunakan untuk berkenalan dengannya. Kami berkumpul di dekat dapur yang terdapat kursi warna hitam di sana. Dengan sedikit bercerita saat Kak Marisa jadi paduan suara di wisuda STAIN.
Aku dan Rendi tetap dalam satu kendaraan menuju masjid. Di sana kami melakukan ritual salat magrib. Kami para jemaah perempun ternyata terlambat melakukan salat jamaah. Oleh sebab itu bu Cucu menjadi Imam kami salat. Sebuah masjid yang banyak oleh tulisan arabnya ini bernama Masjid Misbahuddin. Masjid ini berwarna dominan hijau dan putih dengan lampu hias di tengah dan beberapa kipas angin. Masjid yang dapat dikatakan sangat bagus dan indah dibangun pada tanggal 4 Oktober 1987 atau yang berkenaan dengan 10 Syapar 1408 Hijriah. Bagian depan masjid menghadap jalan dan parit di depannya. Selain itu juga di depan masjid terdapat parkiran yang telah diberi atap memuat sekitar 30-40 kendaraan bermotor. Dan di samping kiri masjid terdapat beberapa pohon pisang di pinggirnya. Dan bagian belakang terdapat serambi yang biasa digunakan untuk pengajian anak-anak. Tapi sekitar lima bulan lalu tidak ada lagi yang mengaji di masjid itu. Padahal awalnya anak-anaknya berjumlah 50 orang namun semakin lama-semakin tidak ada yang mengaji. Sebenarnya ada tiga masjid yang ada di dusun melati. Satu berada di Kalimas yang paling depan atau yang biasa di sebut kalmias asal dan satunya berada di Kalimas tengah yang biasa disebut juga dengan kalimas yaitu tempat kami riset dan yang terakhir berada di perkampungan Madura yang disebut juga dengan kalimas hulu. Perkampungan yang masih sama daerahnya yaitu dusun melati hanya ada sedikit jauh dari perkampungan bugis yaitu dipisahkan oleh kebun langsat warga.
Tak banyak yang kutanyakan karena yang lain juga sedang antusiasnya bertanya tentang Parit Banjar. Tapi yang kudengar ada sekitar 200 kepala keluarga (KK) yang mendiami perkampungan Bugis itu. Anehnya kampung itu diberi nama Parit Banjar yang berarti itu adalah sebutan untuk orang yang mendiami Banjarmasin. Dan biasanya orang tinggal adalah suku Melayu dari Banjarmasin tapi beda dengan Parit Banjar yang satu ini. Nama kampungnya Parit Banjar tetapi yang mendiami orang Bugis yang banyak orang tahu bahwa orang Bugis itu berasal dari Sulawesi bukan dari Banjarmasin. Nah, dalam hal ini tidak banyak yang tahu karena para orang tua apalagi anaknya kurang tahu akan hal itu atau asal mula kampungan itu. Hal itulah yang dikatakan banyak orang jika ditanya mengapa kampung ini disebut Parit Banjar. Tapi yang aku tahu dari berbincang-bincang dengan orang yang paling tua di sana yaitu Abu Bakar Bin Haji Muhammad (90). Kampung itu memang dihuni oleh orang Banjar dahulunya karena orang Banjar-lah yang membuka lahannya. Tapi pada tahun berapa pastinya dan tahun berapa pindahnya orang itu dari Parit Banjar tidak ada yang mengetahui secara pasti. ………………………..
Berusaha mencari data dengan warga kampung membuat aku tak sadar kalau azan isya akan segera berkumandang. Dan aku buru-buru menyudahi bincang-bincangku meskipun yang lainnya belum beranjak dari tempat duduknya. Mereka masih asyik dengan pencarian data yang dibutuhkan. Salat dimulai dengan berjamaah. Setelah selesai salat kami berkumpul lagi di teras masjid. Dan pak Ibrahim mengumumkan kelompok enam harus dibubarkan atau digabungkan. Jadi saat itu sebenarnya kelompok riset kami ada enam kelompok tapi entah kenapa pak Ibrahim merubah menjadi lima. Dia pun tidak menjelaskan mengapa dan aku pun tidak bertanya kepadanya. Selain itu juga dia mengumumkan kelompok mana dan menginapnya diamana?. Aku sendiri kurang tahu tempat siapa saja yang digunakan untuk peristirahatan kelompok lainnya. Yang aku tahu hanya kelompok empat yang menginap di rumahnya Pak Syaparuddin ketua RW di sana. Karena beliaulah yang mengatar kami ke rumah Pak Usman tempat aku dan kelompok tiga yang lain menginap. Dan kelompokku terdiri dari enam orang dua laki-laki dan empat perempuan. Pak Didi, bang Margiant, kak Yanti, kak Romi, dan kak Fifi menjadi satu rumah denganku.
Awalnya sebelum sampai ke rumah itu aku binggung, rumahnya dimana dan aku ke sana dengan siapa?. Pertanyaan it terus membuatku agak gelisah karena Rendi berbeda kelompok denganku. Dan jika aku rumah yang di tempati nanti jauh aku ke sana dengan siap?. Sedangkan yang aku kenal hanya Kak Yanti dan Kak romi serta Pak Didi. Kak Yanti pasti berboncengan dengan kak Romi karena dari awalnya mereka pun telah berdua. Pak Didi, rasanya tidak enak kalau aku harus berboncengan dengan dia. Diakan dosen. Aku pun tak berani ngomong apa-apa dengan Pak Didi. Berdiri pun aku tak berani untuk sangat dekat. Saat itu Pak Didi berdiri di luar pagar Masjid. Dia sedang berbicara dengan pak Syaparuddin dan salah satu warga laki-laki lainnya. Posisinya tepat berada di depan rumah salah satu warga yang mendiami samping masjid dan mereka di pinggir jalan aspal. Hingga akhirnya ada yang mendekat ke arah pak Didi namun setelah itu Pak Didi kembali lagi ke masjid dan yang ada hanya Pak Syaparuddin dan satu orang, dan kulihat dia sedang mengambil kardus bekal kelompok kami.
“Eeh, kardus untuk kelompok tiga mane?” kata bang Margiant yang saat itu sedang menunggu Pak Didi di atas motornya.
“Emang abang kelompok tiga. Kayaknya tadi diambil dengan Pak Didi!” jawabku yang benar apa tidak dia berbicara dengan aku atau bukan yang pasti aku lega selain kak Yanti dan Kak Romi ada juga nama lainnya. Dan kulihat dia hanya manggukkan kepalanya sebagai tanda dia kelompok tiga. Aku pun berjalan ke arah belakang abang yang masih diatas motor itu. Dibelakangnya ada seorang cewek tinggi yang juga duduk diatas motornya yang belum di standarkan. Aku beranikan diri untuk bertanya dengan cewek itu. Yang sebelumnya tidak ada perbincangan diantara kami berdua.
“Kakak juga kelompok tiga ke?.” tanyaku.
“Iye…” jawabnya dengan singkat.
Aku pun merasa lega ternyata ada motor yang kosong. Berarti aku bisa ikut dengannya. Dan aku pun menawari diriku.
“Aku ikut kakak ye…?” rengekku kepada kak Fifi karena yang aku tahu dia semester Sembilan dan itu artinya aku yang paling muda di situ adalah aku, karena aku masih semester tiga dan kak Romi semester lima sedangkan Kak yanti semester Sembilan, setelah aku mendengar kata ‘boleh’ darinya aku pun langsung naik untuk dibonceng. Tak lama berselang pak Didi pun keluar pagar masjid dengan membawa motornya. Sedangkan penunjuk jalan adalah pak Syaparuddin.
Pak Udin (panggilan untuk Pak Syaparuddin) mulai mengajak kami berjalan. Dan aku pun saat itu telah ada di atas motor kak Fifi. Pak Udin belok ke salah satu rumah yang hanya sepuluh langkah dari tempatnya berdiri tadi. Dan dengan kerasnya aku berbicara,
“Disini ke rumah nye???” tanyaku penasaran. Dengan sigap pak Udin menjawab.
“Iye.” Dengan singkat dia menjawab pertanyaanku.
“Ya Allah,….” Aku tak berani melanjutkan pembicaraanku. Karena jika aku ceritakan pasti akan membuat orang tertawa. Bagaimana paniknya aku saat mencari tumpangan. Yang sedari tadi aku gelisah mencari tumpangan dan ternyata rumah yang akan kami tempati hanya berjarak sekitar dua puluh dari masjid. Dan hanya sepuluh langkah dari tempat aku berdiri.
Rumah yang dengan penyangga yang besar dan kokoh membuat rumah itu tampak sekali luasnya. Karena dilihat dari tiang yang besar. Lantai dari teras dan bagian dalam rumah di dominan dengan ‘tehel’. Sungguh sangat indah rumah itu seperti rumah yang ada di kota Pontianak. Aku masuk namun sebelum masuk kami mengucapkan salam terlebih dahulu. Rumah yang sangat besar dan bertingkat. Rumah yang bercat putih itu memiliki ruang tamu yang luas dan salah stu sudut ruang tamu terdapat kursi tamu dan itu menjadi tempat duduk kami setelah bersalaman dengan tuan rumah. Dan tak lama kemudian datanglah Pak Ibrahim dengan maksud menyerahkan kelompok kami kepada taun rumah. Di sana Pak Ibrahim tidak lama karena harus menyerahkan kelompok yang lainnya juga. Karena dialah ketua dari riset wisata ini.
Perbincangan pun berlanjut dengan berkenalan dengan tuan rumah. Pak Usman (47 tahun)sebagai pemilik rumah memiliki satu istri yang dipanggil dengan Bu Murni dan dua orang anak yaitu laki-laki sebagai anak pertama dan perempuan sebagai anaknya yang bungsu. Anaknya yang laki-laki Wahyudi dan perempuan bernama Ani mereka telah besar-besar karena yang pertama berumur 19 tahun dan putrinya berumur 16 tahun. Selain tinggal sekeluarga mereka juga tinggal dengan adik dari sebelah ibu yaitu ibu Murni. Bu Murni atau yang biasa di panggil ‘Makning’ dalam bahasa bugisnya. Tapi tidak dapat data dari keluarga adik bu Usman.
Pak Usman yang saat itu berbaju orange, begitu ramah menyambut kami dengan istrinya. Mereka juga mengatakan senag jika dikunjungi dan sebenarnya mereka telah menunggu kami sedari sore tadi. Karena informasinya sore kami / rombongan akan tiba di sana. Tetapi karena hujan kedatangan kami agak sedikit terlambat. Tidak heran jika mereka menunggu kami karena kami baru menginjak rumah itu selesai salat isya. Lagi kami asyik-asyiknya berbincang-bincang pak Didi menyuruh kami untuk segera membawa kardus bawaan kami itu ke dapur. Aku pun langsung paham dengan perkataan bapak yang memiliki postur badan besar dan tinggi ini. Pastinya dia telah lapar karena jam makan malam telah berlalu sedari tadi. Dan di dapur pun kami yaitu Kak Yanti dan Kak Romi serta aku sendiri tidak hanya membuka tapi kami langsung memasaknya. masuk pada bagian dalam rumah itu terdapat ruang keluarga yaitu untuk nonton tv yang sebenarnya tampak dari luar. Belok sedikit ada tangga untuk naik ke lantai atas. Ada pintu, belok kanan dan di sanalah dapur. Dapur sekitar 3 x 3 meter itu terdapat meja makan, kulkas, tempat piring dari besi dan beberapa piring yang bersih dan ada kompor gas lengkap dengan meja masaknya. Aku pun membuka kardus itu di atas meja yang berdiri di sudut kanan dapur. Kardus itu berisikan 5 kg beras, 1 kaleng besar sarden, beberapa indomie, dan 10 telur ayam ras, 1 kotak teh celup, 1 bungkus masako berukuran sedang, dan satu palstik putih gula pasir. Aku mulai memecahkan telur ke dalam mangkok. Di dapur banyak sekali orang karena saat aku di sana kak Fifi menyusul dan di tambah lagi dengan anaknya perempuan tuan rumah dan keponaknya serta temannya satu lagi. Jadi aku memilih untuk ke ruang tamu untuk mencari informasi. Di ruang tamu aku melihat ada seorang laki-laki setengah baya selian pak Usman. Pak Husni namanya dia adalah ketua RT yang sebenarnya kami menginap di rumahnya. Tapi karena di rumahnya tidak ada WC maka dia kasihan jika orang bertamu ke rumahnya. Maka dari itu kami menginap di rumah pak Usman.
Di bagian sisi kiri dari dapur terdapat pelantaran untuk mencuci piring dan baju dan selanjutnya ada WC dengan dua kamar. Yang satu kamar mandi dan yang satu lagi kamar untuk buang hajat. Bagian ini menjadi unik karena tempat mencuci ini seperti menyambungkan antara dua buah rumah karena di belakangnya terdapat rumah dengan satu kamar dan ada tempat untuk masak. Dan juga ada tungku di sana. Namun bagian atas dari tempat menyuci ini tidak di beri atap agar terkena sinar matahari. Akan tetapi ada lantainya meskipun lantai itu tidak begitu rapat. Ada jarak antara papan selebar tiga jari orang dewasa itu dengan papan yang satunya lagi. Kulihat bagian itu dengan seksama karena sebenarnya kau mendengat ada bunyi yang asing di telingaku. Suara itu seperti serutan. Dan aku mencari sumber bunyi itu yang ternyata berada di rumah bagin belakang tadi. Di ruangan yang cukup besar itu aku melihat seorang nenek tua yang telah bungkuk badannya sedang membuat tikar. Dan ternyata asal bunyi itu dari serutan pandang yang dianyamnya menjadi tikar. Aku pun tak sempat bertanya siapa nama nenek itu karena selain pendengarannya yang kurang dia juga tidak dapat melihat secara jelas. Tapi yang jelas dia adalah orang tua dari istrinya pak Usman.
Aku kagum melihat nenek itu betapa gigihnya membuat tikar. Padahal suasana ruangan itu hanya samar-samar dan menyatu dengan tungku untuk memasak. Hamper tidak ada sekat antar ruang memasak dengan tempat nenek duduk yang disampingnya terdapat tempat tidur. Entah dipakai atau tidak tempat itu. Yang pasti jika dipakai sudah tidak layak lagi karena snagat kotor dan mungkin jika di naiki akan roboh sebab terbuat dari besi dan sepertinya besi itu telah karatan. Sehelai demi sehelai nenek menganyaman tikar dengan keterampilan tangannya. Aku pun berpikir ternyata ku masih bisa bertemu dengan orang yang pandai membuat tikar setelah nenekku sendiri. Padahal banyak orang telah menggunakan permadani untuk alas duduk di rumah tapi berbeda dengan rumah ini. Di runag tv aku lihat memang ada dua helai tikar pandan. Tikar biasanya di jual dan dipakai untuk sendiri. Nenek juga membuat nyiru dan bakul dari pandan. Saat nenek membuat tikar itu aku juga sempat mencobanya karena aku sendiri sedikit-demi sedikit bisa mengayam tikar itu. Dan proses untuk membuat tikar itu lumayan sulit bagi seorang nenek itu. Karena aku merasa empati saja mungkin. Jika dia mengerjakannya sendiri bearti dia adalah orang yang benar-benar perkasa. Sebab untuk membaut tikar itu butuh beberapa rangkaian proses. Dari pengambilan daunnya yang sangat banyak duri lalu di buang durinya dengan senar. Setelah itu dibelah-belah menggunakan senar lagi. Setelah menjadi kecil-kecil atau sesuai selera maka di serut menggunakan bambo setelah itu dijemur di terik matahari sampai dua atau empat hari jika cuaca tidak mendukung paling lama empat hari. Jika terlihat putih barulah dianyam. Sebagai permulaan digunakan tali rapia agar hasilnya rapi. Setelah itulah baru dianyam satu persatu. Dan dari semua proses rangkainnya itu menggunakan tangan kita sendiri. Tidak ada mesin yang mengoperasikannya. Memang tikar pandan ini bnayak di jual di pasar-pasar. Tapi sangat jarang sekali aku melihat orang Pontianak khusunya menggunakannya tikar itu. Karena sekarang sepertinya kesannya akan menjadi kuno jika menggunakannya. Sebab ada yang lebih bagus selain tikar pandan. Yaitu permadani. Meskipun ada kreasi yang digunakan dalam pembuatan tikar pandan yaitu warna. Dalam acara televise yang sempat aku lihat beberapa waktu lalu kalau tikar pandan yang menggunakan warna itu lebih rumit pengerjaannya. Karena selain lama dalam pembuatannya pandan juga harus direbus menggunakan pewarna. Dan hal itu akan menambah pengerjaan. Jika pengerjaannya lebih rumit maka tikar akan lebih mahal. Tapi tetap saja tidak merubah paradigma orang bahwa yang memakai itu adalah orang yang ketinggalan zaman. Padahal itu seharusnya menjadi ‘made in Indonesia’ yang harus dilestarikan dan terus dikembangkan. Contohnya tidak terlalu jauh. Saat lebaran tiba ibuku lebih memilih permadani meskipun harganya lebih mahal dari pada tikar pandan. Ya, itulah yang terjadi di masyarakat kita.
Kembali lagi ke ruang itu,dan setelah dari sana aku kembali ke ruang tamu untuk wawancara dengan pak Husni dan pak Usman. Kupikir jika aku bergantian mencari data maka data yang kuperoleh akan baik karena aku bisa mendalaminya. Oelh karena itu aku dan yang lainnya bergantian memasak dan wawancara. Makan malam kami tanpa di damping oleh tuan rumah karena saat kami mengajaknya mereka menolak semua. Mereka hanya makan kue yang kubawa dari rumah yang ada di ruang tamu sedangkan aku makan di depan tv dengan yang lain.
Kelihatannya kak Romi telah mengantuk karena kulihat dia sangat memaksakan diri untuk terus mencari info dengan mewawancarai pak Husni. Padahal sesekali dia telah menguap sambil menyandarkan badannya di didnding dekat kursi. Benar saja kak Romi mengantuk ternyata jam telah menunjukkan pukul 12.10 WIB. Ternyata sudah larut malam. Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi kelantai atas untuk tidur. Aku bersyukur bisa tidur seperti dirumah sendiri karena kami tidur dalam kamar bersama Kak Romi dan kak Yanti. Dengan beralaskan kasur yang sangat empuk kami pun berlayar ke pulau kapok.
Mendengar azan subuh aku bangun dan salat subuh di masjid. Setelah itu aku berjalan menyusuri jalan berkenalan dengan orang kampong sambil mencari data yang aku butuhkan. Dan setelah kurasa cukup aku kembali lagi ke rumah pak Usman di sana kulihat ada tiga orang anak kecil, Meli Diana kelas 6, Ria kelas 4, Sumiati kelas 4 SD. Mereka sedang memegang buku ditangannya dan di atas meja juga ada beberapa buku tulis. Kupikir mereka rajin sekali hari minggu gini belajar. Mereka sedang bermain penjumlahan tapi penjumlahan dengan menjumlahkan huruf pada nama dan huruf/ abjad pasangan yang setiap huruf itu telah ada angkanya masing-masing. Dan setelah dijumlahkan hasilnya berapa hingga hasil itu di cocokkan dengan kertas satunya. Kertas itu berisikan angka yang dimulai dari angka belasan hingga 45. Namun nama yang digunakan adalah nama panggilan. Jadi kalau nama lengkapnya Siti Hanina maka diambil nama panggilannya saja yaitu Hany dan begitu juga nama pasangan kita. Aku pun mencobanya dan ternyata setelah di jumlahkan angka yang keluar adalah 24. Dan akhirnya sibuk mencari angka 24. Isinya adalah ‘dia sanagt mencintaimu’. Seperti itulah kira-kira kata-kata yang keluar. Sangat kreatif itulah yang aku pikirkan. Salah satu dari mereka juga berkata, ‘jika nama yang digunakan adalah nama yang yang tidak kita kenal maka hansilnya atau kata-katanya tidak menyenangkan’. Dan aku pun mencobanya. Ternyata benar. Hasilnya tidak menyenangkan karena kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang jelek. Itulah salah satu permainan anakanak kampong Bungis. Yang aku heran mengapa anak-anak itu malah justru mencari nama pasangan mengapa bukan hobi atau yang sesuai dengan usianya. Memang diusia seperti mereka ini telah bisa untuk berhitung karena itumemang menjadi tugas pertumbuhan dan perkembangan anak-anak seusia mereka. Seperti apa yang dikatakan Freud dalam bukunya Muhammad Edi Kurnanto (2009). Teori Freud ini mengatakan bahwa perkembangan manusia itu memiliki beberapa fase. Yaitu fase oral (0-1 tahun), fase anal (1-3 tahun), fase phallic (3-6 tahun), fase laten (6-12), fase pubertas dan fase dewasa. Dari setiap fase ini memiliki perkembangannya masing-masing tapi yang paling cocok dengan anak yang bermain seperti di atas, dan karena mereka kelas enam dan empat jadi yang paling cocok adalah fase laten. Dalam teorinya Freud mengungkapkan fase ini merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju pubertas. Dan di fase ini pula anak-anak sering mengalami hambatan perkembangan terutama pencarian jati diri sehingga fase ini di sebut masa kritis. Dalam buku lain juga disebutkan kalau usia seperti ini adalah usia sekolah dasar (SD). Masa ini disebut dengan masa intelektual karena pada masa ini adalah masa dimana telah matang untuk masuk SD. Namun pada umur berapa masuk SD sulit diungkapkan karena tidak ditentukan umur semata tapi juga oleh karena memang telah matang untuk masuk sekolah. Nah, oleh sebab itu masa ini juga disebut dengan masa yang relative singkat dan bersifat negative atau di sebut masa negative. (Ahmad Fauzi.2004). jika demikian maka memang pada masa ini sangat kritis karena anak-anak mulai menampakkan sisi negativenya jika tidak diarahkan.
Kembali lagi ke awal setelah itu aku jalan lagi ke ‘hilek’ (bahasa Bugi yang artinya hilir). Di sana aku bertemu dengan jarring-jaring yang digantung disebuah bangunan kecil sepertinya itu warung. Beberapa jaring dan pukat bergantung di sana. Aku pun menyambangi rumah yang kebetulan si empunya rumah sedang di teras rumah. Dia sedang duduk badannya penuh keringat. Dan ternyata dia sedang menganti atap terasnya. Setelah aku berbasa-basi sedikit aku beranikan diri untuk bertanya benda apa yang di gantung itu walaupun sebenarnya aku tahu itu adalah pukat. Tapi untuk meastikanya aku bertanya dan ternyata itu adalah pukat dan bahasa Bugisnya orang itu menyebutnya juga pukat. Ya’kub atau lebih dikenal dengan nama Pak Bacok (sebutan bagi saudara tertua laki-laki dalam suku Bugis). Seorang laki-laki yang berumur 56 tahun. Anak pertama dari lima saudara ini ternyata bekerja sebagai nelayan. Aku kaget setelah mendengar hal itu karena yang aku tahu penduduk sana hampir semua bekerja sebagai petani dan berkebun. Hal itu aku dapatkan setelah bertanya sana dan sini. tapi ternyata ada yang ‘berbeda dengan yang lain’. Anak dari pasangan suami-istri,Kamat (alm) dan Halimah ini bekerja sebagai nelayan bukan petani. Saat aku bertanya,
“Mengapa Bapak memilih nelayan sebagai pekerjaan, sedangkan yang lainnya kebanyakan bekerja sebagai petani?” tanyaku.
“Hobi…” jawabnya singkat.
Dan setelah itu ia panjang lebar menceritakan bagaimana kesenangannya dalam mencari ikan. Aku heran saja karena dia mau berbalik arah dengan orang lain yang artinya dia berani untuk tidak ikut-ikutan, atau kalau dalam bahasa Pontianaknya ‘Latah’. Saat kutanya lagi ternyata benar hanya dia sendiri yang berprofesi sebagai nelayan di dusun itu. Kalau pun ada hanya keluargannya saja, yaitu Yusuf iparnya sendiri yang memang biasa dia ajak untuk melaut. Laki-laki yang pernah ke Jawa Barat ini mengisahkan kalau dia pernah pernah melaut sendirian dengan sampannya yang berukuran 6 meter dengan lebar 1.5 meter dan tingginya sekitar 80 cm. dia juga kadang-kadang melaut hingga 2 minggu tidak pulang dari laut lepas dekat Kakap. Untuk ikan yang biasanya dia dapat sekitar 30 kg dan hasilnya selain untuk makan sendiri kadang-kadang juga dijual sebagai kebutuhan sehari-harinya. Tidak tamat SD menjadi jenjang pendidikan terakhir dari pria yang belum menikah ini. Karena dia lebih suka tinggal di laut dari pada tinggal di rumah apalagi jika ombak laut tidak tinggi. Maka dari itu dia lebih suka menyendiri daripada menikah, karena kasian dengan istri jika di tinggal terus-menerus di rumah. Dia juga menceritakan pengalaman pahitnya saat melaut,
“Saat saye di tengah laut ni, ombak kena besa’. Jadi saat itu saye cume pasrah jak same yang diatas (maksudnya Allah). Karena kapal sekesil itu tu ( sambil menunjuka ke arah samping kiri) terombang-ambing di tengah laut. Taku saye. Tapi saye tu tak jera pula melaut. Mungkin karena udah darah dari keturunan pelaut kali.” Sambil tersenyum dia membagi ceritanya kepadaku dan kak Romi yang berada di sampingkku. Ya, saat itu aku mengajak kak Romi untuk menungguku. Karena aku tidak membawa kendaraan untuk kembali ke rumah pak Usman.
Laki-laki yang telah bnayak makan asam-garam ini juga menceritakan waktu masa mudanya yang sering berpetualang. Oleh karena itu selain dulu juga sering berlayar dia juga pernah bekerja di hutan sebagai penebang pohon. Sebagai orang yang telah setengah abad ini mengatakan jika ingin ke hutan kita harus ada bekal karena di hutan banyak binatang buas.
“Jika kita mau ke hutan bawa jak potongan belian kecil, itu untuk menghindarkan diri kite dari harimau dan macan. Sedangkan jika kita takut pada binatang beruang, bekallah kunyit sebagai keamanan.” Dia sedang memberi petuah kepadaku.
Aku pun mendengarkan dan mencatat setiap yang dikatannya tanpa terlewatkan sedikit pun. Karena ku pikir orang itu memang berbeda dengan yang lainnya. Ternyata benar banyak hal yang diajarkan kepadaku yaitu tentang keberanian, kesababaran, dan ikhlas serta pasrah. Aku pun bersyukur bertemu dengan dia meskipun hanya sebentar tapi yang terpenting adalah kualitas dari pertemuan kami. Bukan diukur dari lama atau sebentarnya. Yah, itulah perjalanan singkat dan penuh makna dariku. Aku bersyukur bisa bergabung dengan tim ini karena selian untuk menambah ilmu kepadaku aku juga bisa menambah wawasan lintas budaya antar suku bangsa yang ada di Kalimantan Barat ini.
Aku segera pamit untuk pulang karena jam menunjukkan pukul 10.00 WIB dan itu adalah batas waktu yang yang diberikan panitia riset sebagai akhir dari perjalan kami. Dan ternyata benar setelah aku pulang ke rumah pak Usman di masjid telah ada beberapa orang yang telah siap untuk pulang. Setelah bersalaman dan berpamitan aku beranjak dan melangkah ke luar rumah. Berat rasanya meninggal rumah itu. Rasanya begitu cepat waktu ini berlalu. Berfoto-foto menjadi kenagan kami aku dan keluarga pak Usman. Dan di masjid pun rombongan juga telah berfoto tak terkecuali aku. Dengan cuaca yang mendung kami berangkat dari Parit Banjar. Dan setelah keluar dari Dusun tersebut hujan turun. Akhirnya kami pulang dengan kehujanan.

Daftar Bacaan
Ahmad Fauzi. 2004. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka setia.
Edi Kurnanto. 2009. Bimbingan dan Konseling Anak usia Dini. Pontianak : CV. Himalaya Raya.
by : hanina
Bulan
Malam indah dengan bertabur bintang
Kucoba rangkaikan tenta hitam ini
Mencoba melipur lara hatiku
Menanti sang bulan tak kunjung datang
Bulan . . .
Apakah aku harus menunggu
Ingin kulangkahkan kaki ini
Namun ttak dapat beranjak
Bulan . . .
Aku menantimu By : Hanina
meskipun belum tahu kapan akan lounching bukunya. tapi aku senag aku dapat berpartisipasi dengan club lainnya

Selasa, 09 November 2010

hariannn

“Tundalah kesempatan jika anda ingin menuai kesulitan” SOLIKIN ABU ZAINUDDIN

Cara disiplin menulis ::: !!!!!
a. Menulislah
b. Luangkan waktu untuk menulis
c. Buatlah riset.
d. Berkelompoklah dengan penulis lainnya. Ini akan menjaga motivasi.
e. Orang-orang yang kuat membaca. Harus banyak membaca.
f. Terbitkanlah sesuatu. Maskipun tidak dibayar.
g. Bersenang-senanglah ..buat bog